Shock! Itu yang pertama terlintas dalam benak cimur saat mendengar kabar wafatnya Gus Dur, mantan Presiden RI ke-4 yang kontroversial itu. Mengingat cukup banyak tokoh terkenal yang meninggal tahun ini, mulai dari David Carradine, Michael Jackson, sampai tepat menjelang Tahun Baru ditutup dengan wafatnya Gus Dur diikuti teman dekatnya Frans Seda, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Ekonomi pada pemerintahan Megawati.
Gus Dur, atau dipanggil dengan nama resminya Abdurrahman Wahid, merupakan salah satu tokoh nasional yang karismatik dan dikenal dengan sikapnya yang doyan nyeletuk, membanyol hal-hal yang serius dengan sentilan. Selain merupakan tokoh utama dalam organisasi NU dan dianggap tetua yang selalu dicari untuk diminta nasehat dan petuahnya, iapun pernah terjun langsung dalam kancah politik Indonesia. Tepatnya saat kebangkitan demokrasi yang meruntuhkan pemerintahan totaliter Soeharto di Orde Baru.
Bersama koalisi para pendukung demokrasi saat itu (terutama pasangan yang terkenal yaitu Amien Rais dan Megawati), ketiganya bagaikan kekuatan Samkok dari legenda cina kuno yang mampu menggulingkan tirani menuju masa depan Indonesia yang lebih baik (paling tidak itulah tujuan utamanya saat itu). Gus Dur pun naik takhta menjadi Presiden RI ke-4 menggantikan Habibie yang menjabat sebagai Presiden RI ke-3 setelah Soeharto mengundurkan dirinya.
Cukup menonjol dengan profilnya yang bisa dibilang bukanlah manusia sehat lahir (secara syarat untuk menjadi pemimpin Indonesia adalah sehat secara lahir dan batin), Gus Dur tidaklah mampu melihat secara jelas, sehingga seringkali dilecehkan pendukung tokoh lain sebagai "Presiden yang buta". Pada saat memerintah itulah ia menelurkan kebijakan-kebijakan yang agak mengagetkan banyak orang, seperti mengakui dirinya keturunan cina/tionghoa (yang merupakan minoritas yang tertekan) dengan berani di muka umum. Belakangan Gus Dur dilengserkan aliansi di balik layar yang mendukung Amien Rais demi mencegah tindakan ngeyelnya lebih jauh dan digantikan oleh Megawati.
Secara prinsip dan persepsi, Gus Dur adalah sosok yang sangat mendukung pluralitas dan masyarakat yang beragam. Tidak pernah sekalipun ia hanya mendukung golongannya sendiri yang notabene merupakan komunitas terbesar di Indonesia, malah dengan berani menjadi suara untuk membela kepentingan rakyat kecil dan minoritas. Untuk hal ini ia amat dihormati oleh banyak pihak dari berbagai golongan dan mungkin kurang disukai oleh banyak pihak dari golongannya sendiri. Sebagai contoh paling tepat, Gus Dur bisa dipastikan akan selalu diingat jasanya oleh komunitas keturunan cina sebagai Presiden RI yang meresmikan hari perayaan Imlek sebagai hari besar nasional.
Tidak pernah sebelumnya, ada presiden RI yang setelah masa berkuasanya, bahkan saat kematiannya masih sangat dihormati oleh segenap rakyat Indonesia selain Gus Dur, dan tentunya pendiri RI Soekarno. Bila ia masih sempat membanyol dengan kalimat ciri khasnya, rasa-rasanya ia akan mengeluarkan pendapat berikut,"Larang buku Gurita Cikeas? Gitu aja kok repot?"
----------------------------
Gus Dur Berpesan Kaum Fundamentalis Jangan Dijauhi
Kamis, 31 Desember 2009 | 07:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang akhir hidupnya, kepedulian mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid terhadap persoalan toleransi dan kerukunan umat beragama, tetaplah besar sehingga menitipkan pesan pada tokoh Katolik untuk memperlakukan kaum fundamentalis secara lebih bijak.
Romo Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Hubungan Antaragama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta, Rabu (30/12/2009) malam, merujuk pada pertemuan antara Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama Vatikan Kardinal Jean Louis Tauran dengan KH. Abdurrahman Wahid pada November 2009. "Saat itu Gus Dur berpesan agar kaum fundamentalis jangan dijauhi tetapi harus dicintai," katanya mengutip salah satu pesan Gus Dur.
Menurut Romo Benny, Gus Dur adalah tokoh besar bagi bangsa Indonesia. Ia sangat memperhatikan isu-isu pluralisme dan mementingkan arti dari kejujuran. Selama hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat mendedikasikan jiwa dan raganya untuk bangsa Indonesia.
"Menurut saya, hidup Gus Dur semata-mata untuk bangsa dan negara. Beliau meninggalkan kepentingan pribadinya untuk bangsa, orang yang mencintai bangsa dan menyediakan waktu untuk bangsa," kata Romo Benny yang merupakan teman dekat dari almarhum Gus Dur.
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan tidak pernah lepas dari guyonan-guyonan yang menyegarkan. Guyonan itulah menjadi ciri khas Gus Dur yang selalu diingat.
Lebih lanjut Romo Benny mengatakan, meski didera sakit, Gus Dur masih sempat mengucapkan Selamat Natal padanya melalui telepon pada 25 Desember 2009.
"Pada 25 Desember, beliau menghubungi saya untuk mengucapkan Selamat Natal. Saat itu Gus Dur sempat mengeluh karena sakit gigi, tapi tetap saja Gus Dur bilang masih sehat," katanya.
Dalam perbincangan tersebut, Romo Benny mengaku menerima pesan dari Gus Dur yaitu untuk menjaga Shinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada usia 69 tahun karena sakit di RSCM Jakarta, Rabu pukul 18.40 WIB. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI keempat mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Putra pertama dari enam bersaudara itu lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenni), Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Gus Dur, atau dipanggil dengan nama resminya Abdurrahman Wahid, merupakan salah satu tokoh nasional yang karismatik dan dikenal dengan sikapnya yang doyan nyeletuk, membanyol hal-hal yang serius dengan sentilan. Selain merupakan tokoh utama dalam organisasi NU dan dianggap tetua yang selalu dicari untuk diminta nasehat dan petuahnya, iapun pernah terjun langsung dalam kancah politik Indonesia. Tepatnya saat kebangkitan demokrasi yang meruntuhkan pemerintahan totaliter Soeharto di Orde Baru.
Bersama koalisi para pendukung demokrasi saat itu (terutama pasangan yang terkenal yaitu Amien Rais dan Megawati), ketiganya bagaikan kekuatan Samkok dari legenda cina kuno yang mampu menggulingkan tirani menuju masa depan Indonesia yang lebih baik (paling tidak itulah tujuan utamanya saat itu). Gus Dur pun naik takhta menjadi Presiden RI ke-4 menggantikan Habibie yang menjabat sebagai Presiden RI ke-3 setelah Soeharto mengundurkan dirinya.
Cukup menonjol dengan profilnya yang bisa dibilang bukanlah manusia sehat lahir (secara syarat untuk menjadi pemimpin Indonesia adalah sehat secara lahir dan batin), Gus Dur tidaklah mampu melihat secara jelas, sehingga seringkali dilecehkan pendukung tokoh lain sebagai "Presiden yang buta". Pada saat memerintah itulah ia menelurkan kebijakan-kebijakan yang agak mengagetkan banyak orang, seperti mengakui dirinya keturunan cina/tionghoa (yang merupakan minoritas yang tertekan) dengan berani di muka umum. Belakangan Gus Dur dilengserkan aliansi di balik layar yang mendukung Amien Rais demi mencegah tindakan ngeyelnya lebih jauh dan digantikan oleh Megawati.
Secara prinsip dan persepsi, Gus Dur adalah sosok yang sangat mendukung pluralitas dan masyarakat yang beragam. Tidak pernah sekalipun ia hanya mendukung golongannya sendiri yang notabene merupakan komunitas terbesar di Indonesia, malah dengan berani menjadi suara untuk membela kepentingan rakyat kecil dan minoritas. Untuk hal ini ia amat dihormati oleh banyak pihak dari berbagai golongan dan mungkin kurang disukai oleh banyak pihak dari golongannya sendiri. Sebagai contoh paling tepat, Gus Dur bisa dipastikan akan selalu diingat jasanya oleh komunitas keturunan cina sebagai Presiden RI yang meresmikan hari perayaan Imlek sebagai hari besar nasional.
Tidak pernah sebelumnya, ada presiden RI yang setelah masa berkuasanya, bahkan saat kematiannya masih sangat dihormati oleh segenap rakyat Indonesia selain Gus Dur, dan tentunya pendiri RI Soekarno. Bila ia masih sempat membanyol dengan kalimat ciri khasnya, rasa-rasanya ia akan mengeluarkan pendapat berikut,"Larang buku Gurita Cikeas? Gitu aja kok repot?"
----------------------------
Gus Dur Berpesan Kaum Fundamentalis Jangan Dijauhi
Kamis, 31 Desember 2009 | 07:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang akhir hidupnya, kepedulian mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid terhadap persoalan toleransi dan kerukunan umat beragama, tetaplah besar sehingga menitipkan pesan pada tokoh Katolik untuk memperlakukan kaum fundamentalis secara lebih bijak.
Romo Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Hubungan Antaragama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta, Rabu (30/12/2009) malam, merujuk pada pertemuan antara Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama Vatikan Kardinal Jean Louis Tauran dengan KH. Abdurrahman Wahid pada November 2009. "Saat itu Gus Dur berpesan agar kaum fundamentalis jangan dijauhi tetapi harus dicintai," katanya mengutip salah satu pesan Gus Dur.
Menurut Romo Benny, Gus Dur adalah tokoh besar bagi bangsa Indonesia. Ia sangat memperhatikan isu-isu pluralisme dan mementingkan arti dari kejujuran. Selama hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat mendedikasikan jiwa dan raganya untuk bangsa Indonesia.
"Menurut saya, hidup Gus Dur semata-mata untuk bangsa dan negara. Beliau meninggalkan kepentingan pribadinya untuk bangsa, orang yang mencintai bangsa dan menyediakan waktu untuk bangsa," kata Romo Benny yang merupakan teman dekat dari almarhum Gus Dur.
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan tidak pernah lepas dari guyonan-guyonan yang menyegarkan. Guyonan itulah menjadi ciri khas Gus Dur yang selalu diingat.
Lebih lanjut Romo Benny mengatakan, meski didera sakit, Gus Dur masih sempat mengucapkan Selamat Natal padanya melalui telepon pada 25 Desember 2009.
"Pada 25 Desember, beliau menghubungi saya untuk mengucapkan Selamat Natal. Saat itu Gus Dur sempat mengeluh karena sakit gigi, tapi tetap saja Gus Dur bilang masih sehat," katanya.
Dalam perbincangan tersebut, Romo Benny mengaku menerima pesan dari Gus Dur yaitu untuk menjaga Shinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada usia 69 tahun karena sakit di RSCM Jakarta, Rabu pukul 18.40 WIB. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI keempat mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Putra pertama dari enam bersaudara itu lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenni), Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar