Amazon Ad Tag

Tampilkan postingan dengan label anarkis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anarkis. Tampilkan semua postingan

12 Mei 2010

Cuap tentang Mei 1998

Masih ingatkah dulu, sesaat sebelum lengsernya diktator RI (istilah yang didapat menurut beberapa sumber) yang terlihat lembut berwibawa dan mampu menguasai Indonesia sejak 30-an tahun sebelumnya setelah secara sistematik mengkudeta presiden RI saat itu dengan menempatkannya sebagai pesakitan tahanan rumah?

Saat itu mahasiswa sedang panas-panasnya berkumpul berorasi dan menyuarakan pendapatnya, tidak puas akan kinerja kabinet pembangunan entah yang keberapa, yang semakin lama semakin memurukkan Indonesia dalam benaman hutang yang dalam dan berkali lipat. Sampai ada istilah, saat seorang bayi lahir di Indonesia, bayi itu sudah menanggung hutang sebesar puluhan juta rupiah. Ditambah bencana ekonomi dunia yang menekan dollar amerika, dan kebiasaan mata uang Indonesia yang berpedoman pada itu ikut pula terpuruk jatuh. Dari 1 USD yang seharga +/- Rp 2500,- saat itu, mampu terjun bebas mencapai seharga Rp 12.000,-!

Harga bahan baku, kebutuhan dasar, dan kepanikan menukar simpanan rupiahnya menjadi dollar turut membantu melejitnya harga dollar terhadap rupiah. Terima kasih kepada george soros yang dituding menjadi biang kerok tengkurapnya rupiah rata dengan tanah, dan IMF yang kebijakannya bukan membantu tapi malah menguburkan rupiah dengan sukses dan menjadikan banyak perusahaan lokal dibeli oleh konglomerat manca negara. Secara perlahan bangsa Indonesia menjadi kacung di wilayahnya sendiri.

Lalu sejalan dengan itu pula, mahasiswa/i yang terorganisir dalam senat didorong, dibakar, diarahkan, didanai, dan diprovokasi oleh beberapa pihak yang tampaknya ingin membuat goncangan politik yang telah stagnan selama puluhan tahun dalam cengkraman militer yang tentu saja dikuasai oleh jendral bintang lima kita. Beberapa mengharapkan bangkitnya demokrasi sebagai konsep turunan dari republik yang mendukung HAM agar berjaya di bumi Indonesia yang butuh tegaknya hukum berdasarkan HAM karena beragamnya budaya nusantara maupun serapan impor lewat agama ataupun gaya hidup. Namun ada juga yang nantinya bakal lupa diri dan ikut masuk dalam arus korupsi juga, terbukti kan sekarang seperti apa kondisi mental banyak wakil rakyat kita? Paling tidak sebagian masih menerbitkan harap deh.

Maraklah ajakan untuk berdemo yang diikuti mahasiswa/i berbagai kampus. Sampai muncul istilah yang kira-kira begini "kalau jadi mahasiswa/i tapi tidak ikut demo artinya tidak sadar politik dan tidak berjiwa pelajar tinggi". Ikut dalam demo merupakan suatu kebanggaan, adu fisik merupakan bukti ketangguhan jiwa muda. Dan imbalan lulusnya mata kuliah ataupun kompensasi jumlah bolos yang melebihi ketentuan menjadi harapan sebagian mahasiswa/i. Merekapun berduyun-duyun berkumpul di Atma Jaya dan Trisakti, Jakarta.

Berbagai orasi dari yang nasionalis sampai yang sinis terus bergema bersahut-sahutan dari dalam wilayah kampus, didengar oleh masyarakat di sekitarnya sebagai cuap-cuap yang inspiratif ataupun membosankan. Namun seperti pilihan para diktator lain seperti yang terjadi di lapangan Tiaanmen dulu, generasi mudapun ditindas dengan tekanan militer. Barisan angkatan bersenjata yang merapat menembok bagian luar kampus, diikuti dengan sniper bersenapan laras panjang memantau dari jauh aktivitas mahasiswa/i. Tekanan ini tidak membuat generasi muda jera, malah berpanas-panasan dengan pihak aparat. Mungkin hasil kebodohan tipe mahasiswa abadi yang doyannya nongkrong doang di kampus tiap hari, atau ulah penyusup yang bergaya mahasiswa dan melakukan provokasi agar ada bentrokan dengan tentara dan polisi.

Hal ini cukup menegangkan, sampai tiba-tiba *DOR* ada yang tergeletak di aspal bersimbah darah. Aneh, secara belum ada tanda-tanda ke arah rusuh namun aparat sudah menggunakan peluru tajam, bukan peluru karet seperti prosedur standar yang selayaknya dijalankan. Kejadian ini membuat bentrokan kedua pihak makin memanas, namun hentakan yang menghenyak sanubari ini telah menimbulkan luka yang membekas pada sejarah Indonesia. Belum lagi hilangkan tokoh-tokoh mahasiswa dan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah saat itu, tidak pernah terungkap oknum pelaku dan kejelasannya kondisi mereka yang hilang sampai sekarang.

Yang menjadi titik merah yang menodai wajah bangsa Indonesia di mata dunia internasional adalah kejadian setelahnya. Ratusan orang yang tidak jelas darimana datangnya, berpakaian preman dan diturunkan dari truk-truk yang datang dari luar kota di titik-titik api yang kemudian disinyalir mengawali kerusuhan, dan memulai provokasi dengan merusak dan menjarahi berbagai target yang kabarnya telah ditandai. Lucunya masyarakat jakarta malah banyak ikut-ikutan, dan mewarnai kerusuhan itu dengan isu kebencian rasial, tentunya terhadap ras mongoloid turunan cina yang selama ini jadi target perang dingin lokal dan menyebar di wilayah nasional.

Berbagai teriakan (yang anehnya ditambah dengan seruan bernuansa agamis) membahana di jalur kerusuhan yang utamanya merambat di jalan-jalan besar. Kerugian yang hampir tak terhitung dialami oleh warga dari berbagai tingkat sosial, dari hilangnya usaha, tempat tinggal, maupun nyawa keluarga merupakan hal yang tidak dapat dihindari korban. Ironisnya, saat-saat ini dimanfaatkan oleh para biang kerok penjahat kelamin untuk mencari target wanita muda untuk diperkosa, beramai-ramai, bahkan sampai mati. Namun lucunya hal ini dibantah kebenarannya oleh wakil tokoh saat itu, sampai kemudian diluruskan dalam berbagai kesempatan. Jakarta lumpuh total dan bisa dimaklumi bila kemudian ditambah krisis moneter sebelumnya, kondisi mata uang rupiah sempat merosot sampai hampir mencapai Rp 17.000,- per USD.

Ingat-ingatlah, Mei 1998. Jangan pernah lupakan monumen kejatuhan moral bangsa Indonesia yang terburuk di penghujung abad 20.

------------------------------

Peristiwa Mei 1998
Korban dan Ruang Melawan Lupa
Rabu, 12 Mei 2010 | 09:27 WIB

KOMPAS.com — Orang berjalan cepat di trotoar. Mereka segera menepi ketika kuli angkut itu mendorong tumpukan kardus bekas pembungkus barang elektronik, seperti televisi dan home theater, berjalan dari arah berlawanan.
Mereka memperjuangkan kemanusiaan kita semua.

Priiittt! Suara peluit tukang parkir melengking memberi aba-aba. Waktu telah berjalan dan selama itu pula jejak-jejak kerusuhan Mei 1998 tidak lagi tampak. Toko-toko di bilangan Glodok telah pulih kembali, demikian juga di Mangga Dua, Jakarta.

Aroma alat elektronik yang baru dibuka dari kardusnya membubung. Di tempat yang sama, 12 tahun lalu, yang membubung adalah bau plastik gosong dalam hawa panas yang menyesakkan, menuai kengerian.

"Suasana sudah seperti biasa lagi. Bahkan, yang dulu habis sekarang sudah bangkit lagi," tutur Wie Tjiang (50), penjaga kedai kopi Tek Kie, Gang Gloria, di kawasan Glodok.

Ia masih ingat bagaimana api melalap toko-toko itu. Sebelumnya, warga telah menjarah habis isinya. Kedai kopi Tek Kie terhindar dari amukan massa kala itu karena kawasan di sekitar bekas Gedung Bioskop Gloria dijaga warga setempat. "Mereka katakan di sini yang punya pribumi," kata Wie Tjiang.

Meski begitu, amuk massa itu membuat sebagian warga China melarikan diri. Bahkan, sayup dalam segala kengerian yang terjadi kala itu, sebagian di antara mereka diperkosa. Teriakan mereka seolah senyap dalam teriakan: "Bakar! Bakar! Bakar!"

Ketika itu, jejak kengerian ada nyaris di setiap sudut Jakarta. Asap membubung tinggi dari gedung-gedung yang dibakar massa. Ruko-ruko dibongkar, digarong isinya. Dan, sejarah juga mencatat, sebagian dari massa itu pun jadi korban. Ratusan orang terjebak dalam gedung Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur, yang terbakar.

Ruang baru

Dalam hiruk-pikuk arus dunia hari ini, peristiwa 12 tahun itu nyaris terlupakan. Heboh skandal Century, mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan karut-marut kasus mafia hukum telah menyerap sebagian besar perhatian dan energi publik.

Hampir tak ada celah bagi para korban dan keluarga korban untuk mengambil perhatian itu. Padahal, apa yang mereka perjuangkan, yaitu keadilan, adalah upaya untuk memanusiakan kemanusiaan semua manusia. Kepedihan mereka karena kehilangan anak, kerabat, juga kehormatan, membuahkan demokrasi.

Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Robertus Robert dalam tulisannya berjudul "Merehabilitasi Konsep Politik" mengungkapkan, otoritarianisme itu seperti jahitan membutakan di pelupuk mata. Dan, demokrasi adalah momentum terbebasnya penglihatan sehingga dengan itu kita mampu menatap dunia.

Namun, pada saat bersamaan, di hadapan kita pun dihamparkan begitu banyak persoalan. Masyarakat Indonesia memasuki ruang baru dalam sejarahnya menjadi negara-bangsa.

Hanya saja, setelah 12 tahun ruang baru itu justru makin dipenuhi aneka persoalan yang tidak kunjung selesai. Bahkan, Indonesia dihadapkan pada terancamnya identitas kebangsaan, ancaman pada pelupaan terhadap persoalan masa lalu, serta terabaikannya pemenuhan keadilan bagi para korban.

"Kami membutuhkan tindakan konkret dari pemerintah, tidak sekadar basa-basi," kata Sumarsih, keluarga korban kasus Semanggi I.

Jika saat ini atmosfer penegakan hukum di Indonesia tengah gencar ditingkatkan tensinya, ia berharap pemerintah pun memberikan perhatian serius terhadap korban dan keluarga korban seperti peristiwa Mei 1998, Semanggi I, dan penghilangan paksa para aktivis.

Senada dengan itu, pendamping korban dari Kontras, Yati Andriani, mendesak pemerintah agar mengambil langkah aktif. Ia juga mendesak Kejaksaan Agung menuntaskan kasus-kasus itu. "Kami juga meminta kepada pemerintah agar menjelaskan dengan terbuka di mana para aktivis yang diculik," kata Yati.

Setidaknya korban membutuhkan ketegasan pemerintah terhadap upaya penegakan hukum dan keadilan, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji kepada perwakilan korban untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Namun, terlepas dari itu semua, ketika 12 tahun peristiwa Mei telah berlalu dalam awan sejarah, teriakan para korban masih terus berseru. Mutiara Andalas, mahasiswa program doktoral pada Jesuit School of Theology Berkeley, California, Amerika Serikat, mengemukakan, perjuangan korban sesungguhnya adalah upaya memperjuangkan kemanusiaan. "Mereka memperjuangkan kemanusiaan kita semua," tuturnya.

Mereka tak ubahnya pisau yang melepas ikatan yang membutakan mata. Seolah menjadi suluh bagi lahirnya demokrasi. Akankah semua diabaikan dalam lupa?